Kerontjong Toegoe : Kenang - Kenangan Portugis Di Betawi
Duniahobiku.com
- Sebagai salah satu produk kebudayaan campur Portugis-Betawi, Kerontjong
Toegoe sempat mengalami kontroversi dalam hal pengakuan. Namun, belakangan
komunitas ini cukup mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional
sehingga pengakuan itu tidak lagi jadi pikiran. Penting untuk diketahui proses
terbentuknya Kerontjong Toegoe hingga eksis dengan karakternya, lalu apakah
yang menjadi keraguan bahwa ia bagian dari Betawi?
Dari Tawanan ke Kaum Mardijkers
Membicarakan
komunitas Krontjong Toegoe tanpa mengungkap sejarah keberadaan masyarakat
Kampung Tugu, rasanya ada yang hilang. Secara historis orang-orang Kampung Tugu
adalah kaum pendatang dari Portugis. Kedatangan mereka di Jakarta terkait
dengan dengan kompeni yang sekian abad menguasai Nusantara. Bangsa Portugis dan
bangsa-bangsa lain di Eropa (Inggris, Belanda, Prancis, misalnya) dikenal
sebagai bangsa penjelajah dunia. Dalam penjelajahannya itu sampailah mereka di
Malaka.
Sejarah
mencatat bahwa pada abad ke-17 Portugis telah menguasai Malaka. Namun, sejak
Malaka jatuh ke tangan Belanda, kekuasaan Portugis di Malaka berakhir.
Sebagaimana kebiasaan yang berlaku dalam peperangan, mereka yang kalah menjadi
tawanan pemenang perang. Demikianlah, orang-orang Portugis ditawan Belanda,
lalu mereka dibawa ke Jawa (Batavia) dan ditempatkan di sekitar Kampung Bandan
sebagai budak. Sekitar tahun 1661, mereka dibebaskan setelah kepercayaan mereka
diubah dari Katolik ke Protestan. Selain itu, nama-nama mereka diganti dengan
nama Belanda. Untuk itulah, mereka kemudian mendapat julukan baru sebagai orang
mardijkers ‘orang-orang merdeka’ atau ‘orang bebas yang bukan budak.
Kemudian
para mardijkers ditempatkan di sebuah delta di tengah rawa dekat Cilincing,
yang kini dikenal sebagai Kampung Tugu. Tahun 1942 Jepang yang menduduki
Indonesia mengusir Belanda dari Indonesia. Komunitas Tugu dianggap sebagai
musuh Jepang karena bagian dari Barat. Konsekuensinya, banyak orang di Kampung
Tugu meninggalkan kampung halamannya untuk mencari tempat yang lebih aman.
Terbentuknya Krontjong Toegoe
Krontjong
Toegoe sendiri terbentuk di tengah-tengah kehidupan masyarakat Tugu yang baru
saja mereguk “kemerdekaan”. Mereka ditempatkan di sebuah kampung di pinggiran
Jakarta yang pada waktu itu masih bernama Batavia. Di tempat yang baru itulah
kaum mardijkers meluangkan waktu dengan bermain musik.
Alat Musik Keroncong Tugu
Seusai
berburu, bercocok tanam, atau menangkap ikan mereka berkumpul dan
mengharmonikan alat musik, seperti prounga (cak), mancina (cuk), jitera
(seperti gitar tapi lebih kecil), biola, suling, dan rebana. Dari sekian alat
musik itu, bunyi yang paling dominan terdengar adalah bunyi crong-crong-crong
yang berasal dari prounga dan mancina yang saling bersautan. Tak disangka,
permainan musik mereka dikenal sebagai keroncong.
Dari
kebiasaan berkumpul dan bermusik itu muncul gagasan pada mereka untuk membentuk
komunitas/grup musik yang terorganisasi. Mulailah pada tahun 1920 didirikan
komunitas musik Orkes Krontjong Poesaka Moresco Toegoe. Komunitas tersebut
berkembang dari tahun ke tahun dan dikenal cukup luas pada masa itu, terutama
di kalangan orang-orang Indo-Belanda. Akan tetapi, pada tahun 1940-an, ketika
Jepang menduduki Indonesia dan mengusir Belanda dari Indonesia, kegiatan bermusik
mereka terhenti.
Pada
masa itu musik keroncong (Tugu) dilarang bermain karena iramanya dinilai cepat
dan dikhawatirkan dapat membakar semangat masyarakat untuk melakukan perlawanan
terhadap Jepang. Kemudian keroncong lebih berkembang di Jawa Tengah yang
dimainkan dengan pelan. Masa pahit keroncong dan komunitas pendukungnya di
Kampung Tugu belum berakhir. Ketika perasaan sentimen/anti-Belanda merebak di
Indonesia, masyarakat Tugu terkena imbasnya. Mereka dianggap sebagai bagian
atau kepanjangan tangan Belanda. Orang-orang mardijkers banyak yang
meninggalkan Kampung Tugu. Setelah keadaan pulih, mereka kembali lagi ke
Kampung Tugu dan kembali bermusik. Dengan demikian, bergemalah kembali musik
keroncong.
Dalam
sejarahnya, musik ini mengalami pasang surut dan hal itu terkait dengan banyak
faktor. Faktor siapa yang memimpin komunitas, tampaknya menjadi hal penting
dalam pasang surut itu. Dalam konteks tersebut, perlu dipaparkan salah seorang
penggiat musik keroncong yang kemudian tampil menjadi pemimpin komunitas
Krontjong Toegoe. Dia adalah Andre Juan Michiels (43). Andre kemudian
mempelajari musik keroncong. Atas usaha ayahnya, ia belajar musik keroncong
pada Yanto, seorang pemain biola pada komunitas Keroncong Moresco. Dari sanalah
ia mulai terjun dalam Krontjong Toegoe sejak tahun 1988. Di lingkungan keluarga
besar Tugu, saat ini Andre dipercaya sebagai ketua Ikatan Keluarga Besar Tugu
(IKBT). Ia melanjutkan apa yang telah dirintis generasi sebelumnya, yaitu
menjaga dan mengembangkan musik keroncong.
Suatu
kali ayahnya, Arend Julinse Michiels (12 Juli 1933- Februari 1993) berkata,
“Apa jadinya kalian sebagai orang Tugu kalau tidak bisa bermain keroncong yang
asalnya dari Tugu.” Oleh karena itu, selalu diingatnya dan dijadikan pendorong
baginya untuk tetap konsisten mempertahankan dan mengembangkan musik keroncong
Tugu. Dari sinilah muncul motto yang menjadi pegangan baginya serta para
anggota komunitas musiknya dalam bermain musik.
Motto
itu berbunyi “Musik keroncong harus tetap hidup, tetapi janganlah kita
menyandarkan hidup pada keroncong.” Selain itu, ada satu keinginan atau harapan
Andre berkenaan dengan musik keroncong, yaitu menjadikan musik keroncong
sebagai tuan rumah di negeri sendiri.
Krontjong Toegoe Seni Musik Betawi
Sesuai
dengan namanya, Krontjong Toegoe merupakan orkes keroncong khas Kampung Tugu,
Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Melihat asal-usulnya, boleh jadi ada yang
kurang yakin untuk memasukkan musik Krontjong Toegoe sebagai bagian dari seni
budaya Betawi. Setidak-tidaknya, dalam buku Profil Orang Betawi: Asal Muasal,
Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya (Saidi,1997) nama Kampung Tugu hanya
disinggung sekilas, terutama yang terkait dengan komunitas Kristen.
Sementara
itu, musik Krontjong Toegoe sama sekali tidak disinggung. Hal ini mengesankan
bahwa musik Krontjong Toegoe seakan-akan bukan merupakan bagian dari seni
budaya Betawi. Betulkah demikian?
Ada
tiga hal yang bertahan dalam tradisi Krontjong Toegoe, yaitu alat musik,
lagu-lagu (repertoar), dan kostum pemainnya. Alat musik keroncong itu tetap
seperti tiga abad lalu, yakni keroncong, biola, ukulele, banyo, gitar, rebana,
kempul, dan selo (cello). Sementara itu, ada lagu-lagu lama, seperti Cafrinho
dan Moresco yang tidak pernah ditinggalkan, juga lagu-lagu setambul Betawi. Yang
unik adalah syal yang selalu dililitkan di leher pemain komunitas ini,
sedangkan para pemusik perempuan mengenakan kain kebaya. Dari beberapa kali
pertunjukan yang kami saksikan, para pemain tidak selalu menggunakan syal. Para
pemain perempuan juga tidak selalu menggunakan kain kebaya. Saat bermain di
kantor Wali Kota Jakarta Utara pada bulan Juli 2010 mereka menggunakan kostum
hitam-hitam ala koboi, tanpa syal, termasuk vokalis perempuan. Jadi, sebetulnya
sudah ada perubahan, khususnya ketika komunitas musik ini dipimpin oleh Andre.
Namun, apa pun wujudnya perubahan itu, musik ini tetaplah musik Betawi. Paling
tidak, ada tiga hal yang membuat musik Krontjong Toegoe tetap menjadi bagian
dari seni musik Betawi, yakni keberadaan tempat komunitas musik itu sendiri,
lirik-lirik lagu yang dibawakan, kegiatan dan pengakuan dari masyarakat.
Secara
historis perkembangan Krontjong Toegoe memang tidak terlepas dari usaha Andre
dalam meneruskan perjuangan ayahnya, Arend Julinse Michiels, yaitu menjadikan
musik keroncong diterima di kalangan masyarakat yang lebih luas. Bertolak dari
sini lahirlah Krontjong Toegoe yang pada dasarnya merupakan “sempalan” dari
komunitas musik Krontjong Poesaka Moresco Toegoe. Pada 12 Juli 1988, komunitas
itu pecah dan ayah Andre mengumpulkan beberapa anak muda (sekitar dua puluh
orang) untuk membentuk komunitas baru sehingga terbentuklah komunitas Krontjong
Toegoe. Komunitas ini juga dilatih oleh Yanto, yang juga pernah melatih Andre.
Sementara itu, pada 1991 Samuel Quiko, anak dari Guido Quiko, membentuk
Krontjong Cafrinho Toegoe yang semula bernama Krontjong Moresco II dan III.
Pada tahun 2009 Krontjong Cafrinho Toegoe berubah lagi menjadi Krontjong Toegoe
Cafrinho. Krontjong Toegoe yang kemudian dipimpin Andre namanya tidak berubah,
bahkan sejak 10 Februari 2008 namanya sudah dipatenkan.
Komunitas
ini memiliki tempat berlatih di studio mereka yang beralamat di Jl. Raya Gereja
Tugu No.7 Cilincing Jakarta Utara 14130 Indonesia. Keberadaan Krontjong Toegoe
tersebut menunjukkan bahwa mereka terikat identitas Tugu sebagian representasi
wilayah dan juga tempat kelahiran. Kata Toegoe yang melekat pada nama Krontjong
Toegoe adalah wujud identitas yang terkait dengan tanah tempat mereka berpijak
sehingga Krontjong Toegoe sebagai bagian dari seni musik Betawi adalah makna
yang ditampilkan oleh representasi terhadap tempat dan nama yang digunakan.
Ciri
ke-Betawi-an tentu tidak semata-mata terkait dengan tempat dan nama (Kampung
Tugu), tetapi juga terkait dengan pilihan lirik-lirik lagu yang mereka bawakan.
Lagu Jali-jali yang cukup populer di kalangan masyarakat Betawi tak luput dari
santapan komunitas Krontjong Toegoe. Lagu itu dinyanyikan oleh Andre Michiels
melalui komunitas Krontjong Toegoe. Dalam kaset, CD, dan dalam setiap
penampilannya, Krontjong Toegoe tidak lupa untuk memainkan beberapa lagu khas
Betawi, seperti Oud Batavia, Kampung Serani, dan Surilang. Lagu-lagu yang
dibawakan oleh Krontjong Toegoe itu menunjukkan bahwa komunitas ini berusaha
untuk melestarikan seni musik Betawi di tengah menjamurnya jenis musik lain
(baca: asing) yang lebih digemari anak muda, seperti jazz, rock, dan pop.
Prestasi Dalam dan Luar Negeri
Kegigihan
komunitas itu untuk tetap eksis dalam mempertahankan kebudayaan leluhur
tentunya tidak dengan modal hampa. Mereka menggunakan kreativitasnya dalam
memainkan irama musik agar nada-nada yang dihasilkan enak didengar oleh
berbagai kalangan. Hasilnya, keroncong gaya Krontjong Toegoe pun digemari
banyak orang. Tidak hanya dari dalam negeri, penggemar musik keroncong itu ternyata
juga ada di luar negeri. Buktinya, berbagai kegiatan pentas di luar negeri
pernah dilakukan oleh Krontjong Toegoe.
Sejak
berdiri hingga kini, Krontjong Toegoe sudah mengukir banyak prestasi. Pada
tahun 1998 komunitas ini diundang ke Belanda untuk mengisi acara Tong-Tong
Fair, semacam pasar malam besar yang diselenggarakan di Belanda. Setahun
kemudian komunitas ini kembali diundang ke Belanda. Pada tahun 2006 Krontjong
Toegoe kembali mendapat undangan untuk bermain di Belanda dalam acara yang sama.
Dua tahun kemudian, undangan dari Belanda datang lagi untuk acara 50 Tahun
Tong-Tong Fair. Tahun yang sama komunitas pimpinan Andre itu juga mendapat
undangan untuk bermain di kediaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Atas prestasi yang ditunjukkan Krontjong Toegoe, pada tahun 2004 Gubernur
Sutiyoso memberikan penghargaan. Lima tahun kemudian (2009), Walikota Jakarta
Utara juga memberikan penghargaan kepada Krontjong Toegoe. Pandangan dan
pengakuan dari pemerintah itu semakin memperkuat eksistensi seni musik Betawi
yang diusung Krontjong Toegoe.
Jika
undangan dari lembaga pemerintah dan pihak-pihak yang disebutkan masih belum
cukup untuk menunjukkan bahwa musik Krontjong Toegoe adalah bagian dari seni
budaya Betawi, maka perlu disebutkan juga bahwa masyarakat Betawi juga mengakui
keberadaan Krontjong Toegoe. Keterlibatan Krontjong Toegoe dalam acara Lebaran
Orang Betawi pada bulan Oktober 2010 lalu adalah salah satu contoh bahwa
Krontjong Toegoe diakui oleh masyarakat Betawi. Penyebutan komunitas musik ini
dalam buku-buku tentang Betawi adalah bukti lain bahwa Krontjong Toegoe
merupakan bagian tak terpisahkan dari seni budaya Betawi. Demikian dengan
arsitektur rumah kediaman Andre Michiels di Cilincing yang sangat Betawi,
kiranya juga menandakan bahwa orang-orang dan musik pendukung Krontjong Toegoe
adalah Betawi.
Bagian dari Betawi
Meskipun
berakar dari Portugis, siapa pula yang dapat membantah bahwa musik Krontjong
Toegoe berikut komunitas pendukungnya sangat akrab dengan budaya Betawinya? Di kebudayaan
mana pun percampuran berbagai unsur merupakan sesuatu yang jamak, demikian juga
dengan kebudayaan Betawi. Secara historis, Jakarta yang di dalamnya terdapat
etnik Betawi merupakan tempat berkumpulnya orang-orang dari berbagai etnik.
Dalam kondisi semacam itu, interaksi budaya niscaya terbentuk. Seni budaya
Betawi dibentuk dari interaksi tersebut. Jadi, seni budaya Betawi lahir dari
berbagai “suara”, dari “warna”, dan “nada.” Masihkah kita meragukan Krontjong
Toegoe bukan seni Betawi?
Semoga
artikel Kerontjong Toegoe : Kenang -
Kenangan Portugis di Betawi dapat menambah wawasan anda tentang khasanah
budaya Indonesia yang beragam.