Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

BULUKUMBA PANTAI BIRA, SUKU KAJANG, PINISI


        Jika sebagian suku diluar Sulawesi diberikan pertanyaaan, apakah mengenal Kabupaten Bulukumba ? mungkin sebagian akan menjawab Tidak Kenal!!! Tidak Tahu!!! Dimanakah itu Bulukumba? Apa itu Bulukumba? Pertanyaan balik akan dilontarkan kembali kepada Narasumber. Tapi kalau ditanya apakah pernah mendengar pantai yang indah berpasir putih bernama Pantai Bira?, Atau pernah melihat / mendengar keperkasaan Nelayan Bulukumba lewat sebuah kapal bernama PINISi ?, dan untuk sebagian masyarakat yang menyukai hal-hal yang berbau supranatural tentu pernah mendengar secara samar-samar bagaimana Angkernya Suku Kajang dengan pakaian serba hitam (mirip suku Badui Dalam). Hal yang serupa tapi tidak sama juga berlaku tentang Indonesia. Kita sering mendengar bagaimana Negara diluar Indonesia kadang lebih mengenal Pulau Bali dibandingkan Indonesia itu sendiri.”

       Pantai Bira, Suku Kajang, dan Perahu Pinisi memang dapat kita jumpai di Kabupaten bernama Bulukumba. Kabupaten yang memiliki Luas 1.154,58 Km2 dan mempunyai populasi penduduk 418.326 Jiwa (data BPS 2019). Kabupaten Bulukumba mempunyai 10 kecamatan, 27 kelurahan,serta 109 desa. Bulukumba berasal dari dua kata dalam bahasa Bugis yaitu “Bulu”Ku dan “Mupu” yang berarti “Tetap Gunung Milik Saya”. Di Kabupaten ini kita dapat melihat pantai-pantai indah, tempat pembuatan Perahu Pinisi, dan belajar kearifan lokal Suku Kajang.

          Pantai Bira dapat dicapai dari Kota Makassar dengan jarak tempuh sekitar 195 km dengan waktu sekitar 5 - 6 jam. Sepanjang perjalanan kita dapat menjumpai kios-kios makanan khas yaitu putu cangkir dijajakan di pinggir jalan sekitar daerah Limbung (sekitar 1 jam dari Kota Makassar). Putu Cangkir merupakan kue yang terbuat dari tepung beras ketan dan gula merah lalu di isi kelapa parut. Lumayan buat cemilan selama perjalanan,harganya murah meriah. 10 ribu dapat 10 buah. Ada berbagai rasa yang ditawarkan, sesuai selera anda.

Penjual Putu Cangkir, Limbung


        Setelah menempuh 2,5 jam perjalanan dari daerah Limbung kita memasuki kabupaten Je’neponto yang terkenal akan tambak garamnya. Kita dapat membeli garam yang dijajakan di deretan kios pinggir jalan atau melihat proses pembuatan garam.

Petani Garam Je”neponto


                Setelah dari kabupaten Je’neponto kita akan memasuki  Kabupaten Bantaeng  (1 jam perjalanan). Kita akan merasakan aura yang berbeda ketika memasuki kabupaten Bantaeng. Gabungan antara pinggir pantai dan hijaunya suasana alam dapat kita jumpai dikabupaten ini. Sempatkan untuk beristirahat di Pantai Marina dan santap siang di rumah makan yang terletak di pinggir  pantai. Tersedia banyak pilihan menu dan juga ikan-ikan segar. Kabupaten Bantaeng adalah kabupaten terakhir sebelum kita memasuki kabupaten Bulukumba. Jarak dari Bantaeng ke Bulukumba hanya sekitar 1 jam (50 km). Setelah sampai di Bulukumba kita harus menempuh 45 km menuju ke pantai Bira.

Pantai Marina Bantaeng


                20 km sebelum sampai ke Tanjung Bira kita dapat mengunjungi kampung Tana Beru, Kampung tempat proses pembuatan Perahu Pinisi yang melegenda. Letaknya di Kecamatan Bonto Bahari, Jalan Kampung Beru. Masuk jalan kampung Beru kira-kira 300 m kita akan disambut Perahu Pinisi yang sedang dalam proses pembuatan ditepi pantai. UNESCO menetapkan seni pembuatan Kapal Pinisi sebagai Karya Agung Warisan Manusia yang Lisan dan Takbenda pada sesi ke-12 Komite Warisan Budaya Unik pada Tanggal 7 Desember 2017.

         

Proses Pembuatan Kapal Pinisi


         Pinisi adalah sebuah kapal bersistem layar yang secara luas sejak dahulu digunakan oleh suku Bugis dan Makassar. Pinisi memiliki tujuh hingga delapan layar pada dua tiang. Menurut sebuah tradisi setempat nama Pinisi diberikan oleh seorang Raja Tallo, I Manyingarang Dg.Makkilo kepada perahunya. Namanya berasal dari dua kata yaitu “picuru” (artinya contoh yang baik) dan “binisi”  (sejenis ikan kecil,lincah dan tangguh dipermukaan air dan tidak terpengaruh arus dan ombak.). sumber : id.wikipedia.org.

Perahu Pinisi


          Setelah berjuang di perjalanan, rasa lelah langsung sirna melihat hijaunya laut dari kejauhan sebelum mencapai pantai Bira. Antusias untuk cepat-cepat sampai di pinggir pantai semakin menggebu-gebu. Pantai yang indah dengan pasir putih selembut terigu membuat Pantai Bira tampil berbeda dibanding pantai-pantai lain. Disekitar Pantai Bira banyak tersedia penginapan sampai hotel berkelas, tinggal menyesuaikan dengan budget yang kita miliki. Tiket masuk ke Pantai Bira Rp. 10.000 / orang untuk wisatawan lokal dan Rp.20.000 untuk wisatawan asing.

Pantai Bira


Tebing Pantai Bira


                Tepat di depan Pantai Bira kita dapat melihat suatu pulau yang bernama Pulau Liukang Loe. Liukang Loe berasal dari bahasa Konjo artinya banyak kayu hitam. Dipulau Liukang memang banyak terdapat kayu hitam. Untuk mencapai pulau Liukang kita dapat menyewa perahu disekitar pantai Bira. Biayanya sekitar 250 ribu – 400 ribu/perahu untuk pulang-pergi. Sebaiknya jika mau berangkat ke pulau Liukang paling baik di pagi hari saat ombak masih tenang.

Penangkaran Penyu Pulau Liukang Loe


Dipulau Liukang kita dapat melihat penyu besar dan ikan-ikan laut dalam suatu kolam, bahkan kita dapat turun berenang bersama penyu-penyu tersebut. Untuk masuk ke kolam penangkaran penyu pengunjung cukup membayar 10 – 15 ribu / orang. Makan Kelapa muda ditemani hembusan angin laut serta teduhnya pepohonan membuat kita makin betah di pulau Liukang Loe. Penulis jadi ingat saat ke pulau ini bersama teman dari Jakarta. DiPulau ini yang menyukai olahraga Diving bisa puas menikmati bawah air Pulau Liukang Loe yang hijau dan tenang. Air laut yang begitu bersih membuat kita bisa melihat terumbu karang dari atas perahu.

         Berenang bersama Penyu di Pulau Liukang Loe


                Setelah puas menikmati keindahan Pantai Bira, Pulau Liukang Loe, dan melihat cara pembuatan Perahu Pinisi tentunya kita juga masih penasaran dengan suku yang penulis sebutkan diatas, Suku Kajang. Ada apa dengan suku ini yang sarat dengan misteri dan penuh cerita mistis ?

Suku Kajang / Kawasan Adat Ammatoa


          Suku Kajang terletak 60 km dari poros Bulukumba dan 45 km dari Pantai Bira. Suku Kajang bermukim di Desa Tana Toa Kabupaten Bulukumba. Suku Kajang Ammatoa sangat terkenal dengan hukum adatnya yang sangat kental dan masih berlangsung sampai sekarang. Suku Kajang juga terkenal akan Doti ( santet) serta mempunyai ciri khas selalu berpakaian hitam. Daerah Kajang terbagi dalam 8 Desa dan 6 Dusun mempunyai luas 729 Ha dan 317 Ha adalah berupa hutan adat yang sangat dijaga ketat oleh suku Kajang.

          Daerah Kajang sendiri terbagi menjadi dua bagian, suku Kajang luar dan suku Kajang Dalam (kawasan adat Ammatoa). Suku Kajang Luar masih menerima peradaban teknologi seperti listrik sedangkan suku Kajang Dalam tidak boleh menggunakan teknologi dalam bentuk apapun,bahkan sandal  tidak diperbolehkan.

          Bentuk rumah Kajang Luar berbeda dengan Kajang Dalam. Dapur dan tempat buang air pada Kajang Luar berada terletak dibelakang rumah seperti masyarakat pada umumnya sedangkan Kajang Dalam, dapur dan tempat buang air berada di depan. Konon hal ini disebabkan pada zaman perang prajurit Kajang terkadang memasuki rumah untuk mencari makan itulah sebabnya dapur dan tempat buang air besar ditempatkan didepan disamping itu untuk menghindari agar prajurit tersebut tidak bertemu dengan anak pemilik rumah, prajurit tersebut beranggapan apapun yang ada dalam rumah adalah miliknya.

          Kawasan Kajang Dalam (kawasan adat Ammatoa) adalah suatu kawasan yang penduduknya masih sangat memegang  dan menjunjung tinggi adat istiadat. Suku ini sangat disegani oleh kawan maupun lawan. Ammatoa sendiri dianggap mediator / penghubung antara manusia (suku Kajang) dengan Tuhan. Ammatoa dipercaya merupakan orang pertama yang membentuk komunitas suku Kajang sekaligus menjadi pemimpin. Tanah Toa yang sekarang di diami suku Kajang dianggap tempat pertama yang didatangi nenek moyang mereka dan merupakan tanah tertua warisan leluhur suku Kajang. Sumber : id.wikipedia.org

         

Ritual Adat Suku Kajang ‘Attunu Panroli


          Salah satu ritual yang terkenal yang dimiliki suku kajang yaitu ‘ Attunu Panroli ‘ yaitu ritual bakar linggis dalam mencari kebenaran. Menurut cerita jika ada pihak yang ingin mencari keadilan ataupun mencari orang yang yang berkata tidak jujur (berbohong)  maka ritual ini diadakan. Pemuka Adat akan melakukan suatu ritual adat dan  membakar sebuah linggis sampai linggis tersebut menjadi merah membara. Masyarakat akan dikumpulkan dan satu persatu akan memegang linggis yang sangat panas tersebut, apabaila kita tidak bersalah (jujur) linggis tersebut tidak akan berpengaruh terhadap kita dan kita tidak akan merasa panas sedikitpun tapi apabila kita berada pihak yang berdusta maka linggis tersebut akan membakar tangan kita. Ritual ini juga dilakukan untuk pencuri yang tidak mau mengaku tetapi apabila pencuri tersebut tidak ada pada saat ritual dilakukan maka pemuka adat akan melakukan ritual lainnya yaitu doti (santet), Pencuri yang bersembunyi akan merasakan sakit bahkan sampai menemui ajal. Kecuali pencuri tersebut datang meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Hukum Adat di Tana Toa sangat di junjung tinggi baik para masyarakat dalam suku Kajang itu sendiri maupun para pendatang dari luar Kajang.

          Sedikit saran dari penulis sebelum memasuki Suku Kajang sebaiknya kita memakai pakaian hitam dan celana hitam, Hitam bagi suku Kajang dianggap sebagai bentuk persamaan / sederajat dalam segala aspek kehidupan.